Yuk Reformasi Indonesia Lewat Strategi Ekonomi Pertanian Berkelanjutan: Sustainable Agriculture Economics (SAE)

 

Apakah kalian tau bahwa ada suatu kebijakan peninggalan kolonial Belanda yang terbukti merugikan lingkungan, namun ternyata masih dipergunakan di Indonesia hingga saat ini?

Petunjuknya, kebijakan kolonial tersebut adalah peraturan yang dibuat oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830 yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor, yaitu khususnya tarum, tembakau, kopi, teh dan tebu. Selain itu sejak abad ke-19, pemerintah Belanda juga merintis perkebunan kayu jati skala besar untuk pembuatan kapal perang dan kapal dagang milik mereka.

Graaf Johannes van Den Bosch, pencentus Tanam Paksa era kolonial di Indonesia. Lukisan potret dibuat oleh Raden Saleh. Wikipedia/Rijksmuseum

Jadi, kebijakan apakah ini? Ya, kalian benar, kebijakan ini disebut dengan Cultuurstelsel yang oleh sejarawan Indonesia disebut sebagai Sistem Tanam Paksa.

Peninggalan kebijakan ekonomi pada bidang pertanian dimasa kolonial ini perlu segera direformasi. Tanam Paksa atau adaptasi masa kininya yaitu monokultur telah memberikan dampak buruk bagi keberlanjutan lingkungan di Indonesia. Selama ini, atas nama kemajuan ekonomi, keseimbangan ekologi seringkali dikorbankan.

Indonesia, merupakan negara kepulauan yang diberkahi dengan biodiversitas atau keanekaragaman hayatinya. Bahkan, dalam buku “Melestarikan Indonesia (2008) karya Jatna Supriatna”, disebutkan bahwa Indonesia dikenal sebagai negara yang mempunyai mega diversity jenis hayati sekaligus mega center keanekaragaman hayati dunia. Sementara ini, terdapat sekitar 6.000 spesies tumbuhan, 1.000 spesies hewan, dan 100 spesies jasad renik yang telah dapat dimanfaatkan potensinya.

Indonesia dengan hutan lebat dan tanah subur memiliki modal utama bagi beragam jenis tumbuhan maupun hewan untuk dapat hidup dan berkembang dengan baik. Alasan tersebut kemudian mendorong pemerintah kolonial Belanda untuk memanfaatkan kelebihan Indonesia semaksimal mungkin (demi keuntungan ekonomi dan membiayai perang), salah satu caranya adalah melalui sistem tanam paksa. Padahal sistem tanam paksa sendiri memiliki banyak dampak negatif, dibidang sosial maupun ekonomi.

Terkhusus pada bidang pertanian, salah satu dampak negatif yang timbul adalah munculnya krisis pangan. Karena hanya fokus menanam beberapa jenis komoditi ekspor, maka komoditi pangan pun terlewatkan, sehingga masyarakat pada saat itu kesulitan mendapatkan bahan pangan, hingga mengakibatkan bencana kelaparan. Wulan Sondarika dalam penelitian berjudul, “Dampak Cultuurstelsel (Tanam Paksa) Bagi Masyarakat Indonesia dari Tahun 1830-1870”, menyebutkan bahwa kelaparan menimbulkan korban jiwa di daerah Cirebon (1830), Demak (1849), dan Grobongan (1850) sehingga jumlah penduduk menurun drastis dan penyakit busung lapar banyak ditemukan.

Lalu, bagaimana hubungan kebijakan tanam paksa dimasa lalu dengan masa kini?

Sistem tanam paksa yang mewajibkan rakyat menanam satu jenis komoditi yang bernilai ekonomi pada tanahnya ini mirip dengan apa yang dilakukan oleh para pengusaha dan petani di Indonesia pada masa kini, yang biasa disebut dengan sistem pertanian monokultur. Dengan monokultur, pengusaha atau petani akan fokus untuk menanam satu jenis komoditi, dalam skala besar, yang dinilai akan menghasilkan nilai ekonomi maksimal atau keuntungan terbesar.

Secara perlahan tapi pasti, monokultur telah merusak keseimbangan ekologi di Indonesia. Monokultur dengan dalih eksploitasi sumber daya alam demi pemenuhan hajat hidup manusia, menimbulkan dampak buruk berupa kerusakan ekologi. Alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit menimbulkan pencemaran lingkungan. Berkurangnya luas hutan, rumah bagi keanekaragaman hayati, dan menurunnya unsur hara tanah. Monokultur juga tanpa disadari menjadi dalang menurunnya kesejahteraan masyarakat, khususnya bagi para petani.

Mengapa bisa demikian?

Pertama, contoh kerusakan ekologi dalam skala besar, hasil deforestasi atau pembabatan hutan secara masif oleh para pengusaha perkebunan kelapa sawit. Sawit merupakan jenis komoditi yang membutuhkan lahan luas, sehingga seringkali diperlukan pembukaan lahan baru. Hal ini disebabkan umur kesuburan tanah yang ditanam hanya 1 jenis komoditi saja tidak berlangsung lama. Solusinya, tanah yang tidak lagi subur akan dibantu dengan pupuk kimia. Sebenarnya, pupuk kimia ini berbahaya karena akan mencemari air di dalam tanah, dan menjadi polusi bagi lingkungan sekitarnya. Apalagi jika ditambah dengan penggunaan pestisida. Polusi ini mengganggu keberlangsungan hewan dan membahayakan kesehatan.

Penanaman satu jenis komoditi (monokultur), contohnya kelapa sawit, memang terlihat lebih menguntungkan secara ekonomi. Nilai ekonomi tersebut yang seringkali membuat orang lupa akan dampak jangka panjangnya. Selain hilangnya unsur hara, ekosistem tanaman dan hewan pun akan ikut terganggu akibat dari deforestasi dan pencemaran lingkungan. 

Contoh lain ancaman monokultur bagi hutan di Indonesia
(Patani-Ancaman Perkebunan Monokultur di Maluku Utara)

Kedua, dalam skala yang lebih kecil, pada sebagian besar daerah di Indonesia, sistem monokultur sering juga dipergunakan oleh para petani. Mereka, para petani, hanya fokus menanam satu jenis komoditi saja, contohnya padi atau jagung. Minimnya informasi akan manajemen pertanian modern yang baik ditengarai menjadi penyebab tertinggalnya para petani di Indonesia. Mereka masih menggunakan cara pertanian tradisional. Akibatnya, alat-alat yang minim dan teknik bertani yang kurang baik seperti monokultur masih digunakan untuk menggarap lahan.

Lahan pertanian dengan sistem monokultur, akan berangsur-angsur menurun kesuburannya. Lahan yang tak lagi subur akan sangat bergantung pada pupuk agar hasil panennya dapat sukses. Ketergantungan akan pupuk tersebut merugikan petani karena harga pupuk tidak stabil dan cenderung tinggi. Ancaman gagal panen akibat ke-tidak-suburan tanah dan harga pupuk yang melambung tinggi membuat petani terus menerus mengalami kerugian. Petani yang merugi seringkali terjerat hutang dan menurun kesejahteraannya. Hal ini kemudian pada akhirnya menyebabkan para petani di Indonesia, sulit maju dibandingkan para petani modern di negara lain. Maka dari itu, demi keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan para petani, diperlukan dorongan dari berbagai elemen masyarakat melalui Gerakan 1000 Gagasan yang mampu memberikan solusi agar peningkatan kualitas ekonomi dan lingkungan mampu berjalan beriringan.

Contoh Dampak Buruk Pertanian Monokultur

Studycase Para Petani di Thailand

Lantas, bagaimana solusinya?

Pembangunan ekonomi memang diperlukan demi memajukan Indonesia, agar Indonesia dapat bersaing dikancah global. Pemerintah dengan semangat positif terus-menerus melakukan inovasi kebijakan ekonomi untuk mengejar ketertinggalan. Namun, alangkah baiknya jika pembangunan ekonomi dapat dilakukan tanpa merusak lingkungan. Kebutuhan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan sebenarnya dapat tumbuh sejalan. Solusi pengganti dari sistem monokultur pun telah banyak ditemukan dan dibahas secara luas. 

Sebagai contoh, untuk menjaga keberlanjutan ekosistem hutan, terdapat sistem yang dinamakan agroforestry. Menurut Hudges (2000), agroforestry adalah pengelolaan pepohonan secara bersama-sama dengan tanaman pertanian dan atau makanan ternak dalam sistem yang bertujuan menjadi berkelanjutan secara ekologi, sosial dan ekonomi. Secara sederhana sistem ini mengkombinasikan pepohonan dengan tanaman pertanian demi meningkatkan keuntungan, baik secara ekonomis maupun lingkungan. 

Pada agroforestry, dapat tercipta keanekaragaman tanaman dalam suatu luasan lahan sehingga risiko gagal panen berkurang dan tanah terlindungi dari erosi yang mengakibatkan berkurangnya unsur hara (kesuburan tanah), serta kebutuhan pupuk dari luar lahan pertanian dapat dikurangi karena adanya sistem daur-ulang sisa tanaman yang dapat meningkatkan unsur hara tanah. Selain agroforestry, terdapat beberapa sistem lainnya seperti permakultur, dan intercropping (tumpang sari) yang merupakan bagian dari salah satu jenis sistem tanam polikulturPolikultur adalah sistem menanam lebih dari satu jenis tanaman pada satu bidang atau lahan dimana penanaman disusun dan direncanakan dengan tetap menerapkan aspek lingkungan yang lebih baik. Termasuk dalam polikultur adalah agroforestry, permakultur, dan intercropping (tumpang sari). 

Sistem polikultur sendiri memiliki beberapa manfaat seperti mengurangi serangan hama yang biasanya menyebabkan gagal panen. Ketika menanam tanaman yang berbeda jenis secara berdampingan, hama dari masing-masing tanaman yang berbeda jenisnya dapat saling mengganggu dan membuat jumlah hama berkurang atau bahkan hilang. 

Sistem polikultur akan lebih maksimal dibarengi dengan rotasi tanam. Dikutip dari penelitian oleh Ayu Dariska (2016) tentang, “Pengaruh Sistem Pertanian Monokultur dan Polikultur Terhadap Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani di Desa Tambak Boyo Kecamatan Buay Madang Timur Kabupaten Oku Timur”, terdapat alternatif sistem pertanian lain yang terbukti lebih menguntungkan dari monokultur yaitu polikurtur. Pendapatan dari usahatani dengan sistem pertanian polikultur lebih besar daripada sistem pertanian monokultur. Pendapatan sistem pertanian polikultur adalah Rp27.652.963,31 per hektar per tahun, sedangkan sistem pertanian monokultur adalah Rp21.512.515,29 per hektar per tahun. Jadi, sistem pertanian yang diterapkan petani sangat berpengaruh terhadap pendapatan petani. Hal ini menunjukan, sistem pertanian yang diterapkan petani dalam usahataninya sangat menentukan besar pendapatan yang akan diperoleh kemudian.

Melihat pentingnya unsur sustainable (keberlanjutan) dalam hal agriculture economics (ekonomi pertanian), maka kesadaraan akan pentingnya Sustainable Agriculture Economics (SAE) perlu disebarkan. Masyarakat terutama petani perlu tau tentang strategi Sustainable Agriculture Economics (SAE) yang dapat diterapkan untuk memastikan keberlanjutan lingkungan dalam setiap kegiatan ekonominya.

Jadi, Strategi Sustainable Agriculture Economics (SAE) seperti apa yang dapat diterapkan oleh semua lapisan masyarakat?  

6-Langkah Strategi Sustainable Agriculture Economics (SAE)
Langkah 1, pertimbangkan untuk menggunakan sistem pertanian alternatif yang lebih ramah lingkungan seperti polikultur.

Langkah 2, mulai sekarang kurangi dan hindari penggunaan bahan-bahan berbahaya yang dapat mencemari lingkungan di bidang pertanian, seperti pestisida dan pupuk kimia.

Langkah 3, pastikan kegiatan ekonomi dan usaha pertanian Anda tidak melanggar anjuran dan peraturan pemerintah.

Langkah 4, hentikan penggunaan sistem pertanian monokultur.

Langkah 5, dukung kebijakan lingkungan pemerintah dengan aktif memantau dan mengkritisi tata kelola kebijakan lingkungan yang ada agar dapat berjalan dengan baik.

Langkah 6, laporkan kepada pemerintah atau lembaga yang berwenang jika Anda menemukan pelanggaran aturan kebijakan ekologi di sekitar Anda.

Dengan kesadaran akan strategi Sustainable Agriculture Economics (SAE), semakin banyak orang yang memahami apa yang dapat mereka lakukan untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya kelestarian lingkungan. Sehingga ke depan, kegiatan ekonomi yang peduli dan mendukung kelestarian lingkungan pertanian akan lebih banyak digunakan.

Siapa yang dapat menyebarkan informasi tentang pentingnya Sustainable Agriculture Economics (SAE)? Dimana saja dapat disebarkan?

Solusi selalu ada dan tersedia, namun diperlukan keinginan yang kuat untuk dapat mewujudkan solusi tersebut menjadi suatu gerakan yang nyata. Melalui gerakan 1000 Gagasan, saya mengajak rekan-rekan dari berbagai lapisan masyarakat untuk dapat saling meminjamkan kekuatan dengan menyebarkan informasi strategi Sustainable Agriculture Economics (SAE) dilingkungan sekitarnya. Mulailah dengan menerapkannya pada diri sendiri untuk kemudian menularkannya kepada orang lain, terutama pada lingkungan sekitar kita dimulai dari keluarga. Satu perubahan kecil yang dilakukan seseorang akan sangat berarti untuk membantu menciptakan perubahan besar.

Jadi, kapan kiranya perubahan tersebut dapat dirasakan?

Tentu saja, sekarang, saat ini juga, dimulai dari dalam diri kalian, ketika kalian membaca tulisan ini.

#1000GagasanEkonomi #Selamatkanhutan #TemenanLagi #IndonesiaTangguh


Komentar

Popular Posts

Exploring Japan: My Adventure with the MEXT Research Student Scholarship 2023

Berbagi Pengalaman Tes TOEIC (Test of English for International Communication) ETS